Tarif 19 Persen Produk Indonesia ke AS Menjadi Tantangan Baru Bagi UMKM dan Strategi Menghadapinya

Mulai 7 Agustus 2025, Amerika Serikat akan mencabut fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) bagi Indonesia, membuat sejumlah produk ekspor terkena tarif hingga 19%. [Sumber: Bisnis.com]

Tarif 19 Persen Produk Indonesia ke AS Menjadi Tantangan Baru Bagi UMKM

Sebagai pelaku pemasaran digital yang memfasilitasi berbagai produk dan jasa—mulai dari herbal hingga industri kreatif—saya melihat kabar ini bukan sekadar soal tarif, tapi lebih soal bagaimana UMKM dan eksportir kecil bisa bersikap. Tidak semua klien saya mengekspor langsung ke AS, namun isu ini membuka diskusi penting: bagaimana menghadapi dunia yang makin kompleks secara dagang?

Dalam praktiknya, tarif 19% tentu bukan angka kecil. Untuk produk-produk yang sensitif harga seperti furnitur, tekstil, hingga makanan ringan, margin keuntungannya bisa langsung tergerus. Beberapa pelaku yang saya dampingi bahkan mulai bertanya apakah masih layak bermain di pasar AS. Tapi menariknya, tidak semua langsung panik. Sebagian justru mulai memikirkan strategi bertahan dan bahkan memanfaatkan momen ini sebagai bahan negosiasi ulang dengan buyer luar negeri.

Salah satu strategi yang mulai banyak dibahas adalah memperkuat nilai tambah digital. Dengan kemasan branding yang lebih kuat, penjelasan produk berbasis storytelling, dan sistem distribusi yang lebih terstruktur, pelaku UMKM bisa tetap bersaing meskipun harga naik. Ini juga peluang untuk mengembangkan pasar alternatif seperti Jepang atau Timur Tengah yang lebih stabil dari sisi tarif.

Saya tidak mengatakan tarif ini hal yang baik, tapi saya percaya UMKM Indonesia sudah cukup sering diuji oleh kebijakan tak terduga. Tantangan hari ini bisa jadi pemicu efisiensi, inovasi, dan lompatan digital yang lebih terstruktur. Harapannya, pemerintah pun tidak tinggal diam—baik dari sisi diplomasi dagang maupun insentif untuk pelaku usaha yang terdampak langsung.

Kita tidak bisa sepenuhnya mengontrol arah kebijakan luar negeri negara lain. Tapi kita bisa mengontrol respons kita. Dan respons itu, bagi saya pribadi, selalu dimulai dari pemahaman yang jernih dan sikap yang adaptif.

Di tengah situasi ini, penting bagi pelaku UMKM untuk mulai memperluas wawasan terkait regulasi dagang lintas negara. Masih banyak pelaku usaha yang terlalu fokus ke produk dan pemasaran, tapi abai terhadap dinamika politik dagang internasional. Padahal, kebijakan seperti pencabutan GSP ini adalah bagian dari risiko bisnis global yang harus disikapi sejak dini.

Platform seperti TradeMap.org atau situs Kementerian Perdagangan dapat menjadi sumber data ekspor yang sangat berguna untuk menyusun strategi jangka menengah. Saya juga menyarankan pelaku UMKM mulai membangun relasi dengan diaspora Indonesia di luar negeri sebagai agen pemasaran alternatif.

Selain pasar ekspor, saya melihat ada peluang lain: memperkuat pasar dalam negeri. Sentimen nasionalisme ekonomi kini sedang menguat, dan ini bisa menjadi momen untuk mengkampanyekan produk-produk lokal yang “ditolak” pasar luar, justru mendapat tempat di hati konsumen Indonesia. Di sinilah kekuatan narasi dan pemasaran digital mengambil peran besar.

Terakhir, jika boleh menyarankan, ini saatnya pelaku usaha tidak lagi bekerja sendiri. Bergabunglah dengan asosiasi, komunitas ekspor, atau bahkan kolaborasi dengan pelaku digital lain. Tarif bisa berubah, regulasi bisa berganti, tapi solidaritas dan daya adaptasi pelaku usaha adalah fondasi yang tak mudah digoyahkan.

0 Response to "Tarif 19 Persen Produk Indonesia ke AS Menjadi Tantangan Baru Bagi UMKM dan Strategi Menghadapinya"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel